Personal‎ > ‎Menuju Jiwa Sempurna‎ > ‎

Tingkatan Jiwa

Kaji Rasa


Proses berserah diri atas Af'al Allah dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang mempunyai jalan hidup masing-masing yang terdiri dari kesenangan, kesedihan, kesusahan, kegembiraan, keresahan dsb. Berserah diri dan ikhlas menerima setiap Af'al Allah pada diri kita adalah tanda keimanan, karena tidak ada kejadian apapun tanpa kehendak Allah disana. Allah selalu mempunyai rencana yang terperinci terhadap segala aktifitasNya. Kita diajak untuk merasakan bahwa apapun yang kita kerjakan baik disengaja atau tidak adalah bagian dari rencana Allah. Proses pertanggung jawaban manusia adalah pada letak kesadaran dalam menerima ketentuan tersebut. ketika manusia tidak sadar lalu Allah menurunkan ilham-ilham keburukan dalam dirinya, tetapi ketika manusia tersebut sadar lalu memohon agar diberi petunjuk maka Allah menurunkan ilham-ilham kebaikan dalam dirinya ( Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha, maka Allah turunkan sifat-sfat keburukan dan kebaikan dalam dirinya).



Mengkaji rasa adalah memaknai segala rasa yang ada pada diri kita, secara jasmani kita bisa merasakan sesuatu melalui panca indera. Melalui mata kita bisa melihat sesuatu yang indah maupun yang buruk, melalui telinga kita bisa mendengar sesuatu yang merdu atau sesuatu yg tidak enak didengar melalui mulut atau lidah kita bisa merasakan yang manis maupun yg pahit. Artinya apapun yang kita lihat, dengar maupun yang kita rasakan akan masuk kedalam fikiran lalu kemudian tersimpan dan membekas didalam hati. Sesuatu yang baik akan menimbulkan kesenangan atau kebahagiaan sedangkan sesuatu yang tidak baik akan menimbulkan kesusahan atau kesedihan. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa rasa marah, dendam, kesal, iri dengki adalah produk mata dan telinga. rasa yang muncul terus menerus akan menjadi kebiasaan dan merubah perilaku yang berakibat pada perubahan sifat atau tabiat seseorang.



Dalam tradisi kedokteran ada istilah mencegah lebih baik dari pada mengobati. Proses pencegahan adalah dengan berlindung kepada Sang pemilik Af'al. Pertanyaannya bagaimana cara berlindung kepada Sang pemilik Af'al ? Allah hanya melindungi orang mau dilindungi yaitu orang tunduk ( islam) berserah diri atau pasrah pada segala ketentuan yangtelah ditetapkan olehNYA. Pasrah bukan berarti diam tetapi pasrah adalah berusaha membangkitkan kesadaran bahwa Allah selalu menyertai kita , lalu bagaimana cara membangkitkan kesadaran tersebut ? dengan selalu mengingatNYA dimanapun kita berada. Fazkurullaha qiyaman, wa ku'udan wa junubikum, ingatlah Allah ketika berdiri ketika duduk maupun ketika berbaring.



apa hubungannya antara mengingat Allah dengan membangkitkan kesadaran untuk mencegah kemungkaran atau keburukan pada diri kita ? Dzikir adalah proses menyadarkan diri tentang kebesaran Allah dan pengakuan diri bahwa kita tidak memiliki kemampuan apapun tanpa seijin Allah, sehingga rasa berserah diri itu memunculkan sifat syukur dan sabar dalam diri. Bersyukur ketika mendapat nikmat dari Allah dan bersabar ketika mendapat ujian maupun cobaan dari Allah. Rasulullah pernah mendapatkan tawaran dari malaikat Jibril AS " Ya Rasulullah apakah engkau tidak ingin kaya seperti nabi sulaiman atau engkau ingin miskin seperti nabi ayyub " kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wassallam menjawab " Aku hanya ingin sehari kenyang dan sehari lapar, ketika kenyang aku bersyukur dan ketika lapar aku bersabar"



Kaji rasa adalah proses pertama pengenalan, man lam yadzuq lam yadri, siapa yang tidak merasa maka tidak akan mengetahui. Sebelum bisa merasakan kehadiran Allah sebagai zat yang maha agung yang tidak bisa di persepsikan dengan apapun ( laitsa kamislihi syai'un) kita dituntut untuk bisa merasakan Af'alnya atau aktifitasnya atau perbuatannya dalam keseharian kita , sehingga tidak lah salah jika kita katakan bahwa " Allah ada disini " sebagai saksi atas segala perbuatan kita, sebagai saksi atas apa yang kita pikirkan, sebagai saksi atas atas apa kita rasakan dan dan YANG mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati kita.



Wa laqad khalaknal insana wa na'lamu maa tu was wisubihi nafsuhu, wa nahnu 'akrabuilaihi min khablil warid, dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. ( Qaaf, 16)



Walil masyiriqu wal maghribu faainama tuwallu fassamma wajhullah, dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.. ( Al Baqoroh, 115 )





Kaji Diri






Didalam Al Qur'an manusia di pangil dalam 3 bentuk yang pertama Al Insan. Al Insan adalah Ruh yangtelah diberikan akal pikiran ( Al Aql ) dan nafsu ( An Nafs ) , sehingga ketika Allah mengambil sumpahnya " Alastu birrabbikum " para Ruh menjawab " Balaa syahidna", ya kami bersaksi. Yang kedua adalah Basyar atau badan kasar yang terbuat dari tanah yang kelak akan menjadi cangkang dari Ruh. Lalu setelah Al Insan memasuki Al Basyar , mahluk itu disebut dengan nama Manusia atau An Naas.



Ar Ruh di selimuti oleh An Nafs agar si Al Basyar bisa berkembang, lalu agar An Nafs bisa mengetahui arah melangkah di butuhkan Al Aql, sebagai alat untuk menimbang dan memberikan masukan bagi An Nafs. Untuk Menimbang Al Aql membutuhkan Al Basyar sebagai pemberi masukan berupa panca indera, Indera digunakan untuk bisa membaca dan menelaah kondisi demi kondisi yang akan dilalui oleh An Nafs. Kumpulan proses tadi terjadi dalam diri An Naas ( manusia ). Saling tarik menarik antara Al Aql dan An Nafs membuat An Nas tidak tahu arah untuk apa dia ada. Lalu Allah menurunkan petunjukNya melalui utusanNya ( Rasul ). Petunjuknya sebenarnya telah ada dialam semesta maupun dialam diri manusia itu sendiri, tetapi cara membaca petunjuk itu tidak setiap orang mampu melakukannya.



Rasul selain sebagai penyampai cara membaca petunjuk juga sebagai contoh dari penerapan maksud manusia diadakan, yaitu untuk beribadah kepada Yang mengadakannya, yaitu Allah azza wa jalla. La ilahaillallah Muhammadarrasulullah. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya. UtusanNya di utus untuk menunjukkan arah kembalinya sang Ruh kepada yang Menciptakannya, dengan cara beribadah kepada sang Maha pencipta baik ibadah ma'dhoh ( ritual ) maupun ghairu ma'dhoh atau beramal sholeh dalam kehidupan sehari-hari dengan menerapkan ahlakul karimah yang diniatkan untuk beribadah.



Namun untuk bisa beribadah secara ikhlas, seseorang harus melepaskan belenggu An Nafs yang menyelimuti Ar Ruh, jika tidak maka ibadah tersebut bisa sia-sia atau tidak sampai kepada Sang Maha Pencipta. Untuk itu kita harus mengenal tingkatan-tingkatan An Nafs agar perjalanan kita bisa lebih terarah yaitu jalan yang lurus , seperti yang tercantum di surah An Nisa ayat 69 menyambung dari surah Al fatiha ayat 7 , sirotalladzi na 'anam ta'alaihim, - an amallahu alaihim minannabiyina wa siddiqina wa syuhadai wa sholihina........





1. ammarah - kafir - basyar




Nafsu ammarah adalah tingkatan terendah dalam jiwa, nafsu ini bersifat materil atau badaniah. Hati masih dalam keadaan terhijab dari petunjuk, sehingga sifat fujur merajalela. Sifat dendam, benci, marah, iri hati, dengki, sombong dan lainya masih menghiasi jiwa dalam kesehariannya. Kesenangan dan kebahagian masih bersifat badaniah. Pengetahuan akan baik dan buruk, benar dan salah telah menjadi bias oleh kebutuhan dan keinginan. Ukuran kebahagian adalah jika segala yang bersifat materi terpenuhi, baik itu harta , pangkat , jabatan, status, perempuan atau nafsu seksual bisa terpenuhi. Inilah posisi kafir yang sesungguhnya, yaitu tertutup atau terhijab dari kebenaran, dimana halal dan haram sudah tidak jelas lagi. Kafir seperti ini tidak memandang agama, karena jika kita mau jujur , agama 90 % adalah produk warisan, artinya seseorang menganut agama tertentu karena bawaan dari orang tuannya, sehingga kesadaran akan agama yang dianutnya belum ada.

Jiwa ini jika beribadah seperti sholat masih berupa keterpaksaan, atau bawaan lingkungan dengan kata lain adalah ikut-ikutan. Di posisi ini jiwa memerlukan perlindungan Allah dari kejahatan mahluk, baik itu dari luar maupun dari dalam dirinya agar jiwa ini bisa pindah ke maqom selanjutnya



2. lawwamah - qolbi - insan




Nafsu lawwamah adalah jiwa yang menyesali diri. Kesadarannya mulai muncul, hati mulai hidup akan tetapi masa lalu sangat mempengaruhi perkembangan jiwanya yang cenderung ke arah keburukan. Nafsu ini terus terbolak balik sesuai dengan lingkungan atau kondisi yang dihadapi saat itu. Jiwa ini membutuhkan pegangan agar arus kehidupan yang mengarah kesifat fujur bisa dihindari. Rasulullah mengajari doa untuk jiwa ini " Ya muqallibal qulub tsabit qolbi ala dinika" Wahai Tuhan yang maha membolak-balik hati, luruskan atau ikat atau tetapkan aku akan agamaku. Jiwa ini sudah bisa membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Namun belenggu nafsu masih terus membayangi sehingga banyak ulama tempo dulu yang menganjurkan hijrah pada kondisi ini dari lingkungan yang kurang baik ke kelingkungan baru yang dinilai lebih baik, berteman dengan orang yang lebih banyak membawa kepada jalan kebaikan dan berusaha meninggalkan teman yang menjerumuskan dan berusaha selalu bernostalgia dengan kenangan lama yang bisa mengakibatkan hati menjadi terhijab kembali. Posisi lawwamah adalah posisi yang dihuni mayoritas umat Islam saat ini. Oleh sebab itu umat Islam tidak pernah berkembang secara kualitas karena kebaikan dan keburukan selalu menguasai tubuh silih berganti. Diposisi ini jiwa di minta untuk bertobat kepada Allah dari segala yang buruk yang pernah dilakukannya, yang bisa menjerumuskannya kembali ke maqom Ammarah.





3.mulhimah - fuad - muslim




Nafsu mulhimah adalah jiwa yang telah mendapatkan ilham. Hati mulai bekerja menimbang yang baik dan yang buruk. Fuad adalah hati yang berfikir atau nurani yang berakal. Jika nafsu lawwamah kadang melakukan kebaikan terkadang melakukan keburukan maka jiwa mulhimah telah mampu melakukan kebaikan secara bertahap namun disisi lain keburukan tetap di lakukan sewaktu-waktu artinya belum bisa ditinggalkan secara penuh atau dengan kata lain kebaikan dan keburukan berjalan beriringan walaupun posisi kebaikan jauh lebih banyak. Untuk jiwa ini Rasulullah mengajarikan dengan doa " Allahumma arinal haqqon, haqqo warzuqna ittiba, wa arinal batilan, batila warzuqna ijtinabah.." Ya Allah tunjukanlah kami yang benar itu adalah benar dan beri kami kemampuan untuk melaksanakannya dan berilah kami petunjuk yang salah itu adalah salah dan beri kami kemampuan untuk menjauhinya. Didalam jiwa ini nuraninya telah muncul tetapi tetap saja dorongan melakukan keburukan masih ada dan secara sadar jiwa ini sulit untuk melawan. Hal ini disebabkan oleh faktor kebiasaan. Orang yang telah terbiasa berbohong sangat sulit merubahnya waluapun dia sadar hal ini salah. Untuk itu di perlukan perjuangan untuk merubah kualitas jiwa melalui membiasakan sesuatu yang baik secara istiqomah. Disisi lain jiwa ini masih terfokus pada amalan yang bersifat kuantitas, sehingga kualitas ibadah sering terabaikan. Di posisi ini jiwa di minta berserah diri kepada Allah atau pasrah atau tunduk atas segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah atas dirinya, dengan kata lain menjadi "muslim" atau orang yang tunduk.





4.muthmainnah - lub - sholihin




Nafsu Muthmainnah adalah jiwa yang tenang, jiwa yang selalu mengingat Allah , "Alladzina amanu tatmainnu qulubuhum bizzikrillah" , Orang yang beriman hatinya akan menjadi tenang dengan mengingat Allah. Jiwa ini telah mampu meredam gejolak nafsu sehingga menjadi terarah, dari qalbunya telah muncul cahaya penerang (lubiyah ) yang membuka kesadaran akan kehidupan yaitu memahami untuk apa hidup, bagaimana harus menjalani hidup dan bagaimana menghadapi cobaan atau tantangan hidup. Jiwa ini selalu bersyukur atas segala pemberian Allah, baik sesuatu yang manis maupun yang pahit, karena itu jiwa ini disebut juga jiwa para sholihin atau salah satu dari empat golongan yang telah berjalan atas dijalan yang lurus, seperti yangtercantum di surah An Nisa ayat 69.



5.radhiyah - zakiyah - syuhada




Nafsu Radhiyah adalah jiwa yang selalu ridho atas apapun keputusan Allah atas dirinya. Jiwa ini selalu bergerak dalam berbuat kebaikan, ini jiwa para syuhadah yang telah mampu membersihkan hatinya ( zakiyah ) seperti yang tercantum dalam surah As Syamsi ayat 5 , qod aflaha man dzakkaha , dan beruntunglah orang-orang yang telah berhasil mensucikan jiwanya. Jiwa ini selalu mencari ridho Allah dengan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Jiwa ini juga telah lepas dari sifat berkeluh kesah, karena hakikatnya kaya-miskin, pintar-bodoh, berhasil-gagal, cakep-jelek, baik-buruk, adalah ketentuan Allah. Inilah posisi jiwa yang ikhklas atas qada dan qadar Allah.



6.mardhiyah - sirrullah - siddiqin




Nafsu Mardhiyah adalah jiwa yang telah di ridhoi oleh Allah. Jiwa yang penuh dengan kesabaran dalam melalui tahapan demi tahapan goncangan nafsu. Inilah jiwa para siddiqin atau yang benar dan mampu membuat kebenaran. Allah bersaksi atas matanya, berbuat atas tangannya berkata-kata atas lidahnya, mendengar dengan telinganya dan berjalan dengan kakinya seperti yang tencantum didalam hadist qudsi. Jiwa ini telah mencapai tingkatan fana, Inilah golongan para wali-wali Allah atau perpanjangan tanganNya Allah. Rahasia-rahasia Allah muncul dari relung hati mereka dan hijab yang menyelimuti hati telah tersingkap sehingga mencapai tingkatan mukasafah dalam memaknai setiap ketentuan Allah karena telah memperolah ilmu yang langsung dari sisi Allah seperti yang dimaksud pada surah Al Kahfi " ilmu yang diturunkan dari sisi kami atau ilmu laduni" . Jiwa ini terpanggil untuk membantu jiwa kamilah dalam membimbing 3 tingkatan jiwa terendah agar bisa naik katahap selanjutnya



7.kamilah - ana - anbiya




Nafsu Kamilah adalah Jiwa yang sempurna, inilah tingkatan tertinggi dari nafsu dan membawa manusia pada tingkatn tertinggi pula melampaui para malaikat Allah. Inilah jiwa para Nabi dan Rasul Allah. Jiwa ini tidak lagi mengenal dirinya karena sesuatu yang diadakan ( maujud) akan kembali kepada yang mengadakan ( wujud) sehingga jiwa ini adalah cermin dari yang Maha Wujud. Inilah jiwa para Rosul atau utusan yang bertugas merubah ahlak manusia menuju ahlak yang diridhoi Allah. Jiwa ini telah mencapai tingkatan baqo atau kekal akan hadirat Allah dalam mensifati diri dan perbuatannya.



Sumber : David Sofyan, Milis Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Comments